Wirausahawan Muda Bidang Pertanian? Siapa Takut!

Tahukah anda....!!!
Sebagai bangsa agraris, ditengarai Indonesia kini sudah masuk perangkap pangan (food trap) negara maju dan kapitalisme global. Hal ini seperti yang di-expose media massa belum lama ini, bahwa tujuh komoditas utama non-beras yang dikonsumsi masyarakat ternyata sangat tergantung pada impor luar negeri. Bahkan, empat dari komoditas utama tersebut, yakni kedelai, gandum, telur ayam ras dan daging ayam ras sudah dalam kategori kritis.
Sementara itu, komoditas lainya seperti jagung, susu dan daging sapi meski belum termasuk dalam kategori kritis keberadaannya, sebetulnya juga patut diwaspadai karena bukan tidak mungkin ikut kritis. Indonesia ternyata telah menjadi negara yang mengimport berbagai komoditi pangan strategis: sekitar 2,5 juta ton beras/tahun (terbesar di dunia); 2 juta ton gula/tahun (terbesar kedua di dunia); 1,2 juta ton kedelai/tahun; 1,3 juta ton jagung/tahun; 5 juta ton gandum/tahun; dan 550.000 ekor sapi/tahun.
Di Jawa Timur sendiri, sebagai provinsi yang menjadi lumbung pangan nasional sebetulnya telah menyumbangkan cukup besar produksinya untuk pangan nasional, yaitu: Padi 17,38%; Jagung 31,86%; Kedele 36,43%; Ubi Kayu 16,96%; Ubi Jalar 7,49%; Kacang Tanah 26,45%; Kacang Hijau 24,29%; Buah-buahan 30,81%; Sayuran 15,44%; Gula 45,48%; Daging 14,06%; Telur 23,27%; Susu 62,88%; Ikan 7,91%. Ironisnya, Provinsi Jawa Timur ternyata juga merupakan daerah yang tergantung pada bahan pangan impor, khususnya beras, kedelai dan jagung.
Tingkat kesejahteraan petani yang diukur dari Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Jawa Timur dilaporkan mengalami perkembangan yang cukup baik yaitu 114,20 pada bulan Desember tahun 2008 (dengan tahun dasar perhitungan adalah tahun 2002=100). Hal ini menggambarkan bahwa tingkat kesejahteraan petani meningkat dari indeks, yang berarti bahwa hasil penjualan produk pertanian setelah dikurangi untuk konsumsi rumah tangga maupun untuk keperluan sarana produksi pertanian masih ada surplus atau laba. Akan tetapi peningkatan tersebut tidak relefan dengan tahun produksi yaitu 6 tahun (2002–2008) yang hanya meningkat 14,20. Dan negara yang mempunyai label sebagai “negara agraris”, justru para petani (63%) merupakan masyarakat marginal dengan tingkat pendapatan yang relatif rendah dan bahkan dalam katagori “miskin”. Rendahnya tingkat kesejahteraan petani tersebut disebabkan masih rendahnya nilai tambah yang dinikmati oleh petani dikarenakan kurang optimalnya linkage/integrasi antara on-farm dan off-farm. Saat ini para petani melakukan usahanya secara on-farm saja, sedangkan off-farm banyak dilakukan oleh pelaku industri. Sedangkan nilai tambah yang tinggi ada di off-farm.[1] Yang lebih mengenaskan, para Sarjana Pertanian kita lebih bangga jika mereka bekerja di Perbankan, di bidang politik, sebagai Pegawai Negeri atau Swasta yang mendapatkan gaji tetap dan posisi yang aman. Padahal yang namanya petani ya harus turun ke sawah. Menurut Bob Sadino (Bapak Entrepreneur Indonesia, pria yang mengawali kesuksesan karirnya dalam bidang Agribisnis), sejak awal sekolah-sekolah tinggi pertanian tidak membawa mahasiswanya ke lapangan, ampai akhir studi mereka. Lapangan disini diartikan luas, yakni baik lapangan dalam arti wilayah pertanian itu sendiri maupun lapangan dalam arti kondisi ekonomi dan pasar hasil pertanian atau dengan kata lain tentang agribisnis. “Tidak pernah praktik, tidak pernah pegang pacul, sampai akhir teori atau kuliah mereka,” katanya. Hasilnya, sekolah tinggi, universitas, dan institut pertanian di indonesia hanya memproduksi sarjana pertanian yang hanya tahu cara bertani, tetapi aslinya tidak bisa bertani, apalagi mau jadi petani.

Apanya yang salah?
Dari hal diatas ada beberapa hal yang tidak sesuai dari sektor pertanian kita. Sektor pertanian disini diartikan luas, yakni meliputi sektor pertanian murni, perkebunan, peternakan, kehutanan, perikanan dan kelautan.[2] Yang pertama yaitu adanya dukungan yang setengah-setengah dari pemerintah terhadap sektor ini. Sampai pada saat ini, konsentrasi pemerintah membangun Indonesia pada tahap industrialisme. Lemahnya dukungan pemerintah terhadap sektor pertanian terbukti dengan turunnya harga komoditas pertanian kita pada saat panen meskipun memang penyusun harga terjadi pada kondisi ekuilibrium pasar, akan tetapi rule of control dari pemerintah dirasa kurang. Kemudahan melakukan impor komoditas tersebut juga menjadi nilai tambah kurangnya dukungan pemerintah. Jadi dapat ditarik benang merah bahwa kontrol pasar dan dukungan pemerintah dalam sektor pertanian sangatlah kurang.
Hal yang kedua yaitu kurangnya pemahaman petani terhadap pertanian off-farm yang mengakibatkan rendahnya kesejahteraan mereka. Pemahaman tentang entrepreneur atau wirausaha pada sektor pertanian masih belum menjadi mineset untuk berbisnis. Padahal sektor pertanian Indonesia menjanjikan kesuksesan usaha jika dikelola dengan benar dan dengan konsep wirausaha. Indonesia tidak mungkin mengungguli Sony, Toyota dan Hondanya Jepang, atau intel dan Fortnya Amerika, atau BMW dan Mercedessnya Jerman, tetapi Jepang, Amerika dan Jerman tidak akan dapat mengalahkan tanahnya Indonesia, hasil laut atau rotannya kita.
Hal yang terakhir yaitu buruknya sistem pendidikan kita yang hanya mencetak sarjana pada tataran tahu bukan pada tataran bisa ataupun ahli. Mereka adalah output sitem yang berkutat pada bagaimana supaya tahu lebih banyak, bukan bisa lebih banyak. Alhasil, setiap tahunnya perguruan-perguruan tinggi di Indonesia hanya menyumbangkan penggangguran terdidik yang baru.

Siapa yang salah?
Jika ditelusuri untuk mengetahui siapa yang salah dan siapa yang benar, saya dapat berkata kita semua salah. Baik pemerintah, para pengajarnya, para petaninya dan tak lupa juga Penulis Artikel ini juga salah. Atau jangan-jangan yang baca ini juga salah. Hehehe......
Semua dari kita sudah tahu akan kesalahan yang saya ungkapkan di atas. Kenapa ko’ saya berkata kita semua salah padahal mungkin sebagian dari kita tidak merasa ikut andil dalam kesalahan tersenut? Jawabannya adalah kita sudah tahu kesalahan-kesalahan tersebut, akan tetapi kita tidak mencoba untuk merubahnya, malah seakan-akan tidak mau tahu.
Siapa yang salah dan siapa yang benar itu tidak penting, yang penting mari kita samakan mineset untuk merubah kondisi pertanian Indonesia menjadi maju. Mineset saja tidak cukup, mari kita lakukan perubahan tersebut dimulai dari perubahan dalam hal kecil yang dapat kita lakukan sehari-hari.

Apa solusinya?
Konsep yang saya tawarkan adalah Gerakan Pertanian Berbasis Entrepreneur.

Bagaimana caranya?
Caranya adalah dengan menanamkan polapikir wirausaha kepada para petani dan para sarjana Indonesia. Konsepnya begini:
Model ini disebut dengan RBS atau Roda Bob Sadino yang biasa digunakan dalam menggambarkan proses pembelajaran dalam dunia entrepreneur. Pada saat ini, para sarjana kita masih berada pada posisi TAU sedangkan para petaninya pada posisi BISA. Mereka harus berinteraksi untuk beralih posisi ke kuadran TRAMPIL dan AHLI.
Dalam kuadran tahu proses menitikberatkan pengetahuan sebanyak mungkin teori dan informasi yang dikuasai, tetapi kelemahannya adalah teori yang mereka kuasai tidak otomatisdapat di aplikasikan di masyarakat. Pada kuadran BISA, mereka yang menduduki kuadran ini berpedoman pada praktik dan tidak peduli akan apalagi mrnguasai teori. Mereka belajar sepenuhnya dari proses praktik tersebut. Di kuadran TRAMPIL merupakan tempat orang-orang yang telah melewati kuadran TAU dan BISA dan merupakan akibat proses dialektika antara kuadran TAU dan BISA. Dan perjalanan berikutnya, orang-orang di kuadran TRAMPIL akan bergerak ke kuadran AHLI yang didalam dunia entrepreneur disebut dengan kuadran ENTREPRENEUR.[3] Seharusnya begitulah proses bagaimana para para sarjana dan petani kita berproses dan kemudian dapat menciptakan polapikir entrepreneur. Selanjutnya konsep dari pemikiran saya pribadi adalah begini:
Konsep ini saya namakan Triangle Relation Strategy. Konsep ini mengabungkan unsur pokok, yaitu Pemerintah, Pendidik/Sarjana dan Petani, akan tetapi tetap dalam koridor Entrepreneurship. Pemerintah lewat program-programnya menberikan dukungan dan ruang gerak untuk agribisnis dengan cara mengatur kondisi pasar pertanian dan membeikan dukungan berupa kerjasama dan bantuan-bantuan. Sebagai pendidik/sarjana mereka menggunakan informasi tentang kondisi pasar komoditas pertanian dan teori-teorinya untuk bekerjasama dengan pemerintah sehingga dapat ditemukan proses bertani yang efektif. Dan sebagai petani mereka menggunakan hasil pertaniannya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Konsep ini menjelaskan bahwa para petani harus sudah mensinergikan pertanian on-farm dengan off-farm. Akan tetapi didalam proses pertanian yang off-farm mereka harus menggunakan pendekatan-pendekatan kewirausahaan sebagai dasar bertindak. Untuk menjalankan usahanya pera petani harus menggunakan kunci bisnis yang saya sebut dengan Marketing With Love.

Apa yang dimaksud dengan Marketing With Love?
Konsep marketing with love adalah menyeimbangkan dua komponen penting dalam bisnis yaitu Jaminan Pasar dan Jaminan Pembayaran. Didalam bisnis, kunci sukses bisnis yang utama adalah Kepercayaan. Sedangkan kepercayaan dibagi menjadi dua komponen yang saling menyeimbangkan yaitu Jaminan Pasar dan Jaminan Pembayaran.
Seabagai bangasa Indonesian yang mayoritas makanan utamanya adalah nasi, jaminan pasar terhadap agribisnis sangat terpenuhi. Selain itu dukungan hasil laut, hutan dan peternakannya sangat mendukung jaminan pasar. Pada intinya, jumlah masyarakat indonesia yang banyak menjanjikan terpenuhinya jaminan pasar agribisnis. Di lain sisi, jaminan pembayaran terhadap agen kerjasama pertanian haruslah lancar. Harga pasar dan inovasi hasil komoditas pertanian yang dikelola dengan baik akan memberikan jaminan pembayaran akan terpenuhi. Pada intinya para petani kita harus dapat mengelola dua komponen penting tersebut supaya terjalin kepercayaan bisnis. Sehingga nilai tambah dari pertanian off-farm tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan petani Indonesia.

So, Go Go Goooo..!!!! Gerakan Pertanian Berbasis Entrepreneur.....!!!

Rekomendasi riil yang ditawarkan?

  1. Penempatan kembali koperasi sebagai sokoguru negara Indonesai dengan cara membentuk Koperasi Pertanian. Hal ini seperti yang disarankan oleh Drs. Agus Priyono, MM (Ahli Koperasi, Konsultan Koperasi Jatim, Dosen FE UNEJ, dan mantan Ketua Pengurus KPRI UNEJ), ketika beliau menjabat sebagai ketua KPRI UNEJ dengan menerapkan sistem marketing with love telah merhasil mendongkrak perputaran modal KPRI Simpan-pinjam UNEJ yang semula hanya 7 Milyar menjadi 35 Milyar perbulan. Begitu juga dengan modal dan aset KPRI Ritel UNEJ. Dengan demikian saya berasumsi jika Koperasi Pertanian dikelola dengan benar maka kesejahteraan petani akan dengan mudah untuk ditingkatkan.
  2. Pemerintah bersama para petani membentuk Bank-Bank Pertanian, seperti Bank Padi dan Bibit Padi, Bank Sapi, Bank Rotan dan budidayanya. Hal ini seperti yang disarankan oleh Pemerintah Kabupaten Jember Dinas Perkebunan dan Kehutanan dalam acara Agribusiness Day IMJB 2009 pada tanggal 26 Juli 2009 di Ruang Manajemen FE UNEJ. Pemerintah Jawa Timur mendukung peningkatan hasil pertanian dengan cara menyediakan lahan kehutanan sebagai lahan pertanian dan peternakan. Para petani bisa memanfaatkan tanah hutan sebagai lahan padi gogo atau hotikultura lainnya yang ditanam di bawah pepohonan hutan. Sedangkan para peternak dapat memelihara sapi dan kambingnya dengan membuat kandang di bawah pohon. Kerjasama ini akan memberikan manfaat baik untuk para petani maupun untuk kelestarian hutan. Selain itu pembentukan Bank-Bank Pertanian dapat memberikan informasi dan bantuan kontrol pasar komoditas pertanian oleh pemerintah.[4]
  3. Mensinergikan pertanian on-farm dengan pertanian off-farm dengan usaha pertanian hulu-hilir, mulai dari pembibitan, penanaman, pengolahan dan pemasaran sebagai basis usaha ekonomi, industri, dan bisnis kreatif, integrasi mata rantai industri hulu-hilir. Dengan kerjasama dari masing-masing sektor pertanian yang saling melengkapi untuk hasil olahan pertanian.
  4. Membangkitkan semangat generasi muda untuk mulai memahami pentingnya pertanian bagi negara Indonesia dengan memulai Gerakan Wirausahawan Muda Pertanian. Hal ini seperti yang dikatakan Bapak Sudrajat dalam Seminar Nasional “Bangkitkan Semangat Generasi Muda Indonesia dalam Bidang Pertanian”. Gerakan ini dimulai dari melakukan promosi, eksebisi karya, dan produk wirausaha muda berbasis pertanian.[5]
  5. Melakuakan pengembangan pemasaran yang selama ini hanya konvensional menjadi pemasaran berbasis IT dengan cara pemasaran online. Hal ini dikarenakan perkembangan dunia informasi dan teknologi sangat berkembang pesat sehingga pertanian Indonesia harus mengikuti perkembangan tersebut. Pemasaran online merupakan perkembangan pemasaran masa depan, meskipun pada saat ini perkembangan di Indonesia terutama sektor pertanian belum ada. Meskipun demikian, minimal pemanfaat pemasaran online sebagai media promosi yang menggunakan biaya yang murah dapat tercapai. Sebagai sarana informasi, internet memberikan janji yang besar untuk kesuksesan agribisnis Indonesia.
Referensi:
[1] http://aph168.blogspot.com/2009/04/pengembangan-agribisnis-pangan-yang.html
[2] http://www.lablink.or.id/Agro/agr-sust.htm
[3] Zaqeus, Edy. 2009. Bob Sadino: Mereka Bilang Saya Gila!. Bekasi: PT Ikrar Mandiriabadi[4] Agribusiness Day IMJB 2009 pada tanggal 26 Juli 2009 di Ruang Manajemen FE UNEJ
[5] http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=2159

AGRIBUSINESS BLOG COMPETITION 2009
HIMASETA
Universitas Jember

thumbnail
Title: Wirausahawan Muda Bidang Pertanian? Siapa Takut!
Rating: 4.9 - 991 user reviews.
Reviewed by: Unknown

Related Template Bisnis Sampingan, Entrepreneur, ide bisnis, Ide Usaha, Peluang bisnis, pendidikan :

0 comments:

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 Kata Kata Mutiara Cinta: Wirausahawan Muda Bidang Pertanian? Siapa Takut!.